Ada
tiga paradigma yang dibahas oleh Walt di dalam artikelnya ini yaitu,
Realisme, Liberalisme dan Konstruktivisme. Dalam pembahasannya tersebut
Walt banyak mengulas tentang perkembangan-perkembangan yang terjadi pada
masing-masing paradigma.
Realisme
Salah satu kontribusi yang diberikan realisme adalah perhatiannya terhadap permasalahan relative gains dan absolute gains.
Merespon kalangan institusionalis yang beranggapan bahwa institusi
internasional memungkinkan negara meninggalkan keuntungan jangka pendek
untuk meraih keuntungan jangka panjang, para realis seperti, Joseph
Grieco dan Stephen Krasner menyatakan bahwa sistem yang anarkis memaksa
negara untuk memperhatikan secara bersamaan: 1) absolute gains
dari kerjasama dan; 2) aturan main dalam distribusi keuntungan di antara
partisipan. Logikanya adalah, jika sebuah negara mendapatkan keuntungan
lebih besar dari yang lain maka ia secara gradual akan semakin kuat.
Sementara negara yang lain akan semakin rentan (vulnerable).
Selain
itu, realis juga cepat dalam merespon isu-isu baru. Barry Possen
menawarkan penjelasan realis tentang konflik etnis. Ia mencatat bahwa
pecahnya negara-negara multietnis menempatkan kelompok etnis lawan dalam
situasi yang anarkis. Sehingga memicu intensitas ketakutan dan menggoda
(tempting) masing-masing kelompok menggunakan kekuatan untuk
meningkatkan posisi relatif mereka. Permasalahan ini akan semakin parah
ketika di dalam wilayah masing-masing kelompok terdapat kantong-kantong (enclaves) yang didiami oleh etnis lawan. Karena masing-masing pihak akan tergoda melakukan pembersihan (cleanse)
– bersifat preemptif – kelompok minoritas dan melakukan ekspansi untuk
memasukan anggota kelompok mereka yang berada di luar batas wilayah.
Tetapi
menurut Walt, pengembangan konsep yang paling menarik dari paradigma
realis adalah munculnya perbedaan pemikiran antara kelompok “defensif”
dan “ofensif”. Kalangan realis-defensif semacam
Waltz, Van Evera dan Jack Snyder berasumsi bahwa negara memiliki sedikit
kepentingan intrinsik di dalam penaklukan militer (military conquest).
Dengan alasan, biaya yang dikeluarkan untuk ekspansi, umumnya, lebih
besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh. Bagi mereka, sebagian
besar perang besar (the great power wars) disebabkan oleh
kelompok-kelompok domestik yang membesar-besarkan persepsi atas ancaman
dan adanya keyakinan yang tinggi terhadap kemanjuran kekuatan militer.
Kalangan
ini melihat bahwa perang lebih mungkin terjadi ketika kemungkinan untuk
melakukan penaklukan diantara negara-negara sangat mudah dilakukan.
Namun ketika defense lebih mudah dilakukan dibandingkan offense, keamanan akan muncul dimana-mana, dorongan untuk ekspansi berkurang dan kerjasama akan berkembang. Dan jika defense
memiliki keuntungan dan negara-negara mampu membedakan antara senjata
untuk bertahan dan menyerang, kemudian negara-negara dapat memperoleh
alat-alat untuk mempertahankan diri tanpa mengancam negara lain. Dengan demikian mengenyahkan efek dari sistem yang anarki. Dalam pandangan kalangan realis-defensif, “states
merely sought to survive and great powers could guarantee their
security by forming balancing alliances and choosing defensive military
postures (such as retaliatory nuclear forces)”[2]
Namun
pandangan tersebut mendapat tantangan dari sejumlah teoritisi lain.
Diantaranya adalah Peter Liberman yang menulis sebaliknya, bahwa manfaat
dari melakukan penaklukan (conquest) seringkali lebih besar dari
pada biaya yang harus dikeluarkan. Liberman mengemukakan argumentasinya
dengan memberikan sejumlah kasus seperti, pendudukan Nazi atas Eropa
Barat dan hegemoni Uni Soviet atas negara-negara Eropa Timur. Yang
dengan demikian membuang keraguan terhadap klaim bahwa ekspansi militer
tidak efektif lagi.
Kritik datang pula dari kalangan realis-ofensif seperti, Eric
Labs, John Mearsheimer dan Fareed Zakaria yang menyatakan bahwa situasi
anarki mendorong negara-negara untuk mencoba memaksimalkan kekuatan
relatif mereka karena tidak satupun negara dapat memastikan kapan
kekuatan revisionis sesungguhnya akan muncul.
Perbedaan-perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan pandangan
diantara kalangan realis dalam melihat persoalan internasional, semisal
masa depan Eropa. Bagi kalangan realis-defensif seperti Van Evera,
perang tidaklah hanya sedikit memberi keuntungan dan seringkali lahir
dari militerisme, hypernationalism, atau beragam distorsi yang
berasal dari faktor domestik. Van Evera mempercayai bahwa sebagian besar
kekuatan militer tidak berperan (absent) di era pasca perang dingin. Ia berkesimpulan bahwa “the region is “primed for peace””.
Sebaliknya para realis-ofensif berpendapat bahwa system yang anarki
mendorong kekuatan-kekuatan besar untuk berkompetisi terlepas dari
karakteristik internal mereka dan kompetisi keamanan akan kembali ke
Eropa.
Liberalisme
Dalam tulisannya ini Walt mengulas mengenai perkembangan teori ‘democratic peace’. Teori ini berpendapat, meskipun demokrasi tampak “mensponsori” perang namun
ia jarang melakukan peperangan di antara mereka. Karena norma-norma
demokrasi menentang penggunaan kekerasan sesama mereka.
Namun
keyakinan tersebut saat ini mendapatkan sejumlah suntikan perkembangan
baru dari sejumlah teoritisi. Snyder dan Edward Mansfield menekankan
bahwa negara-negara akan lebih mudah berperang jika mereka berada di
tengah-tengah transisi demokrasi.[3] Sehingga upaya mengekspor demokrasi akan semakin memperburuk keadaan.
Bukti-bukti
kuat mengenai demokrasi yang tidak saling berperang hanya ada pada
masa-masa pasca 1945. Sebagaimana dinyatakan Joanne Gowa bahwa
kekosongan konflik pada masa-masa pasca 1945 lebih disebabkan oleh
kepentingan untuk menghadang Uni Soviet daripada to share prinsip-prinsip demokrasi.
Begitu
pula dari jajaran liberal-institusionalis, terjadi sejumlah
perkembangan-perkembangan baru. Saat ini bagi mereka, institusi
dipandang sebagai fasilitator bagi kerjasama antar negara-negara yang
memiliki kesamaan kepentingan. Dan setuju bahwa negara-negara tidak
dapat dipaksa untuk bekerjasama jika itu bertentangan dengan kepentingan
negara tersebut.
Sementara
aliran liberal-ekonomik berpendapat bahwa “globalisasi” pasar dunia,
kemunculan jaringan transnasional dan NGO dan penyebaran yang cepat
teknologi komunikasi global mengurangi power dari negara-negara dan mengubah perhatian dunia dari persoalan keamanan militer ke persoalan kesejahteraan ekonomi dan sosial.
Bagi
Walt walaupun terjadi perubahan-perubahan di dalam pemikiran ini namun
logika dasarnya tetap sama yaitu, masyarakat global terjebak ke dalam
jaring-jaring ekonomi dan sosial yang saling berkait dan resiko merusak
jejalinan tersebut secara efektif menghalangi tindakan-tindakan
unilateralis negara-negara, terutama dalam hal penggunaan kekerasan (force).
Perspektif ini secara implisit menyatakan bahwa perang akan tetap
merupakan pilihan yang jauh di dalam negara-negara demokrasi industrial
tingkat lanjut (the advanced industrial democracies). Bagi mereka
membawa Cina dan Rusia ke dalam kapitalisme dunia merupakan cara
terbaik untuk mempromosikan kesejahteraan dan perdamaian, terutama jika
proses ini menghasilkan kelas menengah yang kuat di dalam negara dan
memperkuat tekanan bagi demokratisasi.
Konstruktivisme
Jika realisme dan liberalisme berfokus pada faktor-faktor yang bersifat material (kasat mata) seperti power dan perdagangan maka konstruktivis berfokus pada ide. Konstruktivis
memberikan perhatiannya pada kepentingan dan identitas negara sebagai
produk yang dapat dibentuk dari proses sejarah yang khusus. Mereka
memberi perhatian pada wacana umum yang ada ditengah masyarakat karena
wacana merefleksikan dan membentuk keyakinan dan kepentingan, dan
mempertahankan norma-norma yang menjadi landasan bertindak masyarakat (accepted norms of behavior). Dengan demikian konstruktivis memberi perhatian pada sumber-sumber perubahan (sources of change). Dengan pendekatannya yang demikian maka konstruktivis menggantikan marxisme sebagai the preeminent radical perspective di dalam hubungan internasional.
Menurut
perspektif konstruktivis, isu-isu utama di era pasca perang dingin
berkait dengan persoalan-persoalan bagaimana kelompok-kelompok sosial
yang berbeda-beda conceive (menyusun dan memahami) kepentingan dan identitas mereka.
Konstruktivis
memberikan perhatian kajiannya pada persoalan-persoalan bagaimana ide
dan identitas dibentuk, bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang
dan bagaimana ide dan identitas membentuk pemahaman negara dan merespon
kondisi di sekitarnya.
Salah
satu karakteristik dari konstruktivisme adalah non-universalis. Tidak
ada ketunggalan analisa atas fenomena. Walt mencontohkan jika Wendt
berfokus pada persoalan bagaimana anarki dipahami oleh negara-negara,
maka kalangan konstruktivis lain menekankan pada persoalan-persoalan
masa depan negara teritorial. Mereka menyatakan bahwa komunikasi
transnasional dan penyebaran nilai-nilai civil (civic values) mengubah loyalitas national tradisional dan secara radikal menghasilkan bentuk-bentuk baru ikatan politik (political association).
Di dalam tabel berikut, Walt memberikan sejumlah perbedaan-perbedaan di antara ketiga pemikiran tersebut.
Tabel: Perbedaan Antar Perspektif di dalam HI
Competing Paradigm
|
Realism
|
Liberalism
|
Constructivism
|
Main theoretical proposition
|
Self-interest states compete constantly for power or security
|
Concern for power overridden by economic/political considerations (desire for prosperity, commitment to liberal values)
|
State behaviour shaped by elite beliefs, collective norms, and social identities
|
Main unit of analysis
|
States
|
States
|
Individual (especially elites)
|
Main instruments |
Economic and especially military power
|
Varies (international institutions, economic exchange, promotion democracy)
|
Ideas and discourse
|
Modern theories |
Hans Morgenthau
Kenneth Waltz
|
Michael Doyle
Robert Keohane
|
Alexander Wendt
John Ruggie
|
Representative modern works
|
Waltz, Theory of International Politics.
Mearsheimer, “Back to the Future: Instability in Europe after the Cold War” (International Security, 1990)
|
Keohane, After Hegemony.
Fukuyama, “The End of History?” (National Interest, 1989)
|
Wendt, “Anarchy Is What States Make of It” (International Organization, 1992)
Koslowski & Kratochwil, “Understanding Changes in International Politics” (International Organization, 1994)
|
Post-cold war prediction
|
Resurgence of event great power competition
|
Increased cooperation as liberal values, free market, and international institution spread.
|
Agnostic because it cannot predict the content of ideas
|
Main limitation |
Does not account for international change
|
Tends to ignore the role of power
|
Better of describing the past than anticipating the future
|
Sumber: Walt, Foreign Policy, No. 110, Spring 1998.
Sementara Steve Smith[4] menulis, untuk memahami teori-teori internasional saat ini ada dua distinction yang harus dipahami terlebih dahulu. Pertama, perbedaan antara “explanatory theory” dan “constitutive theory”. Kedua mengenai “foundational theory” dan “anti-foundational theory”.
Bagi explanatory theory, dunia berada di luar teori. Sebaliknya constitutive theory menyatakan bahwa teori-teori yang ada mengonstruksi dunia.[5]
Artinya, bagi kalangan eksplanatoris dunia dipahami berdiri sendiri
tidak terpengaruh oleh faktor subjektivitas aktor-aktor yang berdinamika
di dalam dunai sosial. Dunia bersifat objektif. Tetapi sebaliknya,
kalangan constitutive melihat dunia sebagai hasil pemahaman individu atas lingkungan sosialnya.
Tentang perbedaan antara foundational theory dan anti-foundational theory terletak pada isu apakah keyakinan (belief) kita tentang dunia dapat dites atau dievaluasi menggunakan prosedur yang netral dan objektif. Bagi foundationalist kebenaran dapat diukur sehingga justifikasi atas benar atau salah dapat dilakukan. Berbeda, anti-foundationalist
berpendapat bahwa bahwa justifikasi benar atau salah atas klaim
kebenaran tidak dapat dilakukan karena tidak pernah ada sesuatu yang
netral yang dapat melakukan itu. Bahkan setiap teori menentukan sendiri
apa yang disebut sebagai fakta.
Explanatory theory cenderung kepada foundationalism dan constitutive theory cenderung kepada anti-foundationalism. Kebanyakan teori-teori internasional terbaru berada di dalam kelompok anti-foundational theory seperti, posmodernisme, sebagian teori-teori feminis dan sebagian besar teori normatif (normative theory).
Sementara sosiologi historis (historical sociology) dan teori kritis cenderung berada di posisi foundationalisme. Namun di antara dua kutub tersebut terdapat konstruktivisme sosial (social constructivism) yang berada di tengah-tengah.
Juga
di dalam dinamika teori-teori internasional terdapat pula debat antara
positivisme dan non-positivisme yangmenyebabkan terjadinya tiga kelompok
besar, yaitu: [6]
1. Rasionalisme. Di dalam kelompok ini terdapat neo-liberalisme dan neo-realisme.
2. Reflektivisme. Di dalam kelompok ini terdapat posmodernisme, teori feminis, teori normatif (normative theory), teori kritis, dan sosiologi historis (historical sociology).
3. Konstruktivisme sosial. Yang berada di tengah-tengah kedua kutub.
Neo-Neo Synthesis
Di
dalam tulisannya ini Smith menjelaskan bahwa dalam perkembangannya yang
lebih lanjut, terutama sejak 1980-an, realisme dan liberalisme mencapai
satu titik kesamaan. “Essentially each looked at the same issue from different sides: that issue was the effect of international institutions on the behaviour of states in a situations of international anarchy.[7]”
Di dalam debat-debat yang terjadi di antara kedua perspektif tersebut ada dua poin yang perlu dicermati yaitu, pertama, neo-realis lebih menekankan pada relative gains sementara neo-liberalisme menekankan pada absolute gains.
Perbedaannya adalah, katakanlah ada sebuah kue, jika kemudian
negara-negara berpikir untuk mendapatkan potongan kue yang paling besar
dari yang lain tanpa mempedulikan ukuran kue tersebut maka ia lebih
menekankan pada relative gains. Sementara jika negara-negara
berpikir untuk memperbesar ukuran kue agar seluruh negara dapat
memperoleh potongan kue yang besar maka negara-negara tersebut lebih
menekankan pada absolute gains.
Kedua,
neo-realis tidak mempercayai bahwa institusi international dapat
menanggulangi akibat dari anarki internasional. Sebaliknya bagi
neo-liberal, mereduksi terjadinya misunderstanding dan kerjasama
antar negara dapat mencegah efek-efek yang ditimbulkan oleh anarki
internasional. Kemudian juga, jika neo-realis lebih menekankan pada
masalah-masalah keamanan, neo-liberal lebih menekankan pada isu-isu
ekonomi-politik.
Smith juga mencatat, mengikuti Baldwin, ada empat kelemahan yang dimiliki oleh ‘neo-neo synthesis’[8]:
- Kedua perspektif meninggalkan isu-isu the use of force yang menjadi kunci perbedaan utama antara realisme dan liberalisme pada decade-dekade sebelumnya. Kedua perspektif tampaknya berusaha melemahkan relevansi isu-isu tersebut di dunia modern saat ini.
- Jika sebelumnya liberalisme melihat aktor-aktor sebagai agen moral dan realis melihat aktor-aktor sebagai power maximizers maka di dalam perkembangan ‘neo-neo debate’ keduanya setuju bahwa aktor-aktor merupakan value maximizers.
- Jika sebelumnya terjadi perdebatan dimana realis menekankan negara sebagai aktor dan liberalisme menekankan pada non-state actors maka di dalam ‘neo-neo debate’ keduanya setuju bahwa negara merupakan aktor utama di dalam politik internasional.
- Jika realisme melihat konflik sebagai kunci untuk memahami politik internasional dan liberalisme melihat kerjasama sebagai sesuatu yang penting maka neo-neo debate melihat kedua-duanya, baik kerjasama dan konflik sebagai fokus perhatian.
‘Neo-neo synthesis’ dapat dikatakan lahir sebagai respon atas kegagalan
realisme dan liberalisme klasik dalam menganalisis fenomena
internasional yang tidak sepenuhnya berjalan seperti apa yang
diteorisasikan oleh dua paradigma tersebut. Hal itu disebabkan oleh
perilaku aktor-aktor internasional yang cenderung pragmatis, dalam
pengertian memanfaatkan kedua pendekatan tersebut dalam mencapai
kepentingannya, menyebabkan realitas sosial internasional tidak dapat
dilihat secara hitam putih dari perspektif masing-masing pendekatan.
Fenomena ‘neo-neo synthesis’ tidak saja merubah sejumlah pandangan yang
telah ada sebelumnya di masing-masing pendekatan namun juga melahirkan
sejumlah persamaan pendapat pada kedua pemikiran tersebut yang
menyebabkan semakin berkurangnya jurang pemisah antara (neo) realis dan
(neo) liberalis.
Social Constructivism: Bridging The Gap
Jika
kita mengikuti pola pembagian yang dilakukan oleh Lapid dia atas maka
di dalam bagan, ketiga kelompok besar tersebut akan tampak seperti di
bawah ini:
Posisi
konstruktivisme yang berada di antara rasionalisme dan reflektivisme
bagi Smith memberikan keuntungan sendiri karena dapat menjadi jembatan
yang menghubungkan kedua belah pihak yang saling “bertikai” dan sulit
mencapai kesepahaman. Sebagaimana ditulis olehnya,
“I
am sure that it promises to be one of the most important theoretical
development of recent decades; the reason is that is that if it could
deliver what it promises then it would it would be the dominant theory
in the discipline, since it could relate to the all other
approaches on their own terms, whereas at the moment there is virtually
no contact between rationalist and reflectivist theories since they do
not share the same view of how to build knowledge.[9]
Untuk
melengkapi penjelasan Walt di atas mengenai konstruktivisme ada baiknya
untuk melihat beberapa inti dari pemikiran Alexander Wendt yang telah
diringkas oleh Steve Smith di dalam tulisannya yang berjudul New Approaches to International Theory. Menurut Wendt, bagi neo-realis maupun neo-liberalis identitas dan kepentingan merupakan sesuatu yang given,
sesuatu yang sudah ada begitu saja. Wendt tidak mempercayainya
demikian, ia melihat bahwa identitas dan kepentingan merupakan hasil
dari praktek inter-subjektif di antara aktor-aktor. Dengan kata lain
identitas dan kepentingan merupakan hasil dari sebuah proses interaksi.
Walaupun neo-realis dan neo-liberalis mengakui bahwa proses interaksi
mempengaruhi perilaku aktor-aktor namun tidak bagi identitas dan
kepentingan.
Selain itu Wendt juga menyatakan bahwa collective meaning
menentukan struktur yang mengatur tindakan-tindakan kita. Dan
aktor-aktor memperoleh kepentingan dan identitasnya melalaui pertisipasi
di dalam collective meaning tersebut. Identities and interests are relational and are defined as we defined situations.[10]
Dari
sini terlihat makin jelas bahwa berbeda dengan (neo) realisme dan (neo)
liberalisme, konstruktivisme memberikan penjelasan yang berbeda dalam
menganalisa fenomena sosial, khususnya fenomena internasional.
Konstruktivis melihat fenomena sosial merupakan hasil bentukan dari
interaksi antar aktor-aktor internasional[11],
sebaliknya dengan realisme dan liberalisme. Yang melihat ada
unsur-unsur yang ada begitu saja tanpa campur tangan aktor-aktor
internasional (given).
Model
analisa yang diberikan oleh konstruktivisme ini tidak dapat dilepaskan
pengaruhnya dari perkembangan tren wacana sosial dewasa ini yang lebih
banyak menitikberatkan pada persoalan-persoalan “dunia ide” yang
menitikberatkan pada persoalan-persoalan konstruksi sosial atas
realitas. Perkembangan teori-teori model ini tidak dapat dilepaskan
pengaruhnya dari sekelompok ilmuwan sosial Jerman yang dikenal sebagai
Mahzab Frankfurt (Frankfurt School) dimana salah satu pemikir
terkenalnya adalah Juergen Habermas. Dari Mahzab Frakfurt ini kemudian
berkembang teori-teori reflektivisme dengan berbagai variannya.
Jika dikaitkan dengan jaman kekinian, dimana mobilitas dan jumlah informasi yang berseliweran sehari-hari sangat tinggi (information age),
teori ini memiliki relevansi yang sangat signifikan. Karena saat ini
kekuasaan tidak lagi dilanggengkan dengan kekuatan senjata semata
melainkan juga melalui media-media informasi yang dapat mengonstruksi
kesadaran masyarakat.
Hanya
saja mengenai pemikiran konstruktivisme (terutama konstruktivisme
Wendt), Steve Smith memberikan kritikan bahwa pemikiran Wendt tidak
sepenuhnya dapat menjadi jembatan yang menghubungkan gap yang terjadi di antara rasionalisme (neo-realisme dan neo-liberalisme) dan reflektivisme (teori kritis, posmodernisme, dll). Ada lima alasan yang dikemukakan Smith:
1. Pemikiran
konstruktivisme Wendt tidak cukup memuaskan bagi kalangan reflektivis
yang menyukai pandangan yang lebih radikal dibandingkan Wendt.
2. Wendt terlalu “berbau” realis. Ini dapat dilihat dari pendapatnya yang menyatakan “to that extent, I am a statist and realist”. Artinya Wendt tetap memandang bahwa negara merupakan aktor utama dan negara tetap akan mendominasi. Padahal pemikiran ini yang ingin dirubah oleh reflektivisme.
3. Keinginan
Wendt untuk menggabungkan rasionalis dan reflektivis bagi Smith tidak
mungkin dilakukan terutama berkaitan tentang persoalan “how to construct knowledge.”
Rasionalis memiliki landasan positivis sementara reflektivis
post-positivis. Dua pandangan ini memiliki perbedaan yang sangat jauh
sehingga sulit untuk dikombinasikan.
4. Konsep
‘struktur’ yang dikemukakan Wendt kurang material. Karena bagi Wendt
struktur merupakan apa yang dipahami di kepala si aktor. Sementara bagi
banyak ilmuwan struktur dipahami sebagai refleksi dari kepentingan yang
material.
5. Wendt
berpendapat bahwa identitas datang dari hasil proses interaksi. Kritik
yang diberikan Smith atas pendapat ini adalah kita tidak datang ke dalam
sebuah interaksi tanpa membawa identitas yang sebelumnya telah
didapatkan. Artinya identitas yang telah kita peroleh sebelumnya akan
mempengaruhi pihak lain yang terlibat di dalam sebuah proses interaksi,
begitu juga sebaliknya.
Stephen
M. Walt pun memberikan kritikannya terhadap konstruktivisme bahwa
kelemahan konstruksivisme terletak pada ketidakmampuannya memberikan
solusi atas persoalan (Better of describing the past than anticipating the future).
No comments:
Post a Comment